Senin, 11 April 2011

MAKALAH PERADILAN ISLAM MASA DINASTI UMMAYYAH

PENDAHULUAN
Peradilan (Al-Qadha) adalah merupakan suatu lembaga yang telah dikenal sejak dari zaman purba sampai dengan masa sekarang ini dan dia adalah merupakan sebuah kebutuhan yang tak dapat ditawar-tawar keberadaannya sebab lembaga peradilan adalah merupakan salah satu prasyarat tegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para warga negara. Peradilan dalam istilah modern dikenal dengan istilah Yudikatif yang keberadaannya setara dengan eksekutif dan legislatif.
Peradilan adalah merupakan tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang masih terbelakang maupun bangsa-bangsa yang tergolong sudah maju. Di dalam peradilan itu terkandung menyuruh perbuatan maĆ¢ruf dan mencegah perbuatan munkar, menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya dan menghalangi orang yang zhalim daripada berbuat aniaya, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau negara tidak mempunyai peradilan, maka bangsa atau negara itu termasuk dalam kategori bangsa yang kacau balau sebab hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.
Oleh karena itulah maka sejarah peradaban dunia yang pernah kita kenal, memperlihatkan kepada kita tentang peraturan perundang-undangan dan lembaga peradilannya seperti undang-undanga Hammurabi dari Timur, Pemerintahan Assiria yang datang sesudahnya, Pemerintahan Israil dan Pemerintahan Arab sebelum datangnya Islam, Pemerintahan Islam sendiri dan Pemerintahan modern sekarang ini. Kesemua pemerintahan itu mempunyai lembaga peradilan masing-masing sesuai dengan tingkatan pemikiran dan dinamika ummat manusia pada masa itu..
A. Sejarah Singkat Bani Ummayyah
Bani Umayyah merupakan penguasa Islam yang telah merubah sistem pemerintahan yang demokratis menjadi monarchi (sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan). Kerajaan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi dan tipu daya, tidak dengan pemilihan atau suara terbanyak sebagaimana dilakukan oleh pemimpin sebelumnya, yaitu khalafaur rasyidin. Meskipun mereka tetap menggunakan istilah Khalifah, namun mereka memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatannya. Mereka menyebutnya “Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat oleh Allah
Kerajaan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 41 H/661 M di Damaskus dan berlangsung hingga pada tahun 132 H/ 750 M. Muawiyah bin Abu Sufyan adalah seorang politisi handal di mana pengalaman politiknya sebagai Gubernur Syam pada zaman Khalifah Ustman bin Affan cukup mengantarkan dirinya mampu mengambil alih kekusaan dari genggaman keluarga Ali Bin Abi Thalib. Tepatnya Setelah Husein putra Ali Bin Thalib dapat dikalahkan oleh Umayyah dalam pertempuran di Karbala. Kekuasaan dan kejayaan. Dinasti Bani Umayyah mencapai puncaknya di zaman Al-Walid. Dan sesudah itu kekuasaan mereka menurun. Silsilah keturunan Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdi Syamsi bin Abdi Manaf bertemu dengan Nabi Muhammad SAW pada Abdi Manaf. Turunan Nabi dipanggil dengan keluarga Hasyim (Bani Hasyim), sedangkan keturunan Umayyah disebut dengan keluarga Umayyah (Bani Umayyah). Oleh karena itu Muawiyah dinyatakan sebagai pembangun Dinasti Umayyah (Sou’yb,1997:7).
Umayyah adalah pedagang yang besar dan kaya, yang mempunyai 10 anak laki-laki yang semuanya mempunyai kekuasaan dan kemuliaan, di antaranya Harb, Sufyan, dan Abu Sufyan. Dan Abu Sofyanlah yang pernah menjadi pemimpin pasukan Quraisy melawan Nabi pada perang Badar Kubra. Dilihat dari sejarahnya, Bani Umayyah memang begitu kental dengan kekuasaan.. Ketika terjadi Fathul Makkah Abu Sufyan diberi kehormatan untuk mengumumkan pengamanan Nabi SAW, yang salah satunya adalah barang siapa masuk ke dalam rumahnya maka amanlah dia, selain masuk masjid dan rumahnya Nabi (Hasan,1993:282). Hal ini berlanjut pada masa khulafah al-rasyidin, Yazid bin Abi Sufyan ditunjuk oleh Abu Bakar memimpin tentara Islam untuk membuka daerah Syam. Dan masa Khalifah Umar diserahi jabatan Gubernur di Damaskus. Hal yang sama dilakukan Umar adalah menyerahkan daerah Yordania kepada Muawiyah. Bahkan setelah Yazid wafat, daerah yang diserahkan kepadanya diberikan kepada Muawiyah. Setelah Umar wafat dan digantikan Ustman, maka kerabatnya dari Bani Umayyah (Ustman termasuk dari Bani Umayyah) banyak yang menguasai pos-pos penting dalam pemerintahan.
Pada masa Ustman inilah kekuatan Bani Umayyah, khususnya pada Muawiyah semakin mengakar dan menguat. Ketika dia diangkat menjadi penguasa pada wilayah tertentu dalam jangka yang panjang dan terus-menerus. Sebelumnya dia telah menjadi Wali Damaskus selama 4 tahun, yaitu pada masa Umar, lalu Ustman menggabungkan baginya daerah Ailah sampai perbatasan Romawi dan sampai pantai laut tengah secara keseluruhan. Bahkan dia membiarkannya memerintah daerah tersebut selama 12 tahun penuh, yaitu sepanjang masa kekhilafahannya (al-Maududi,1993:146-147).Pada realitasnya banyak sejarawan yang memandang negatif terhadap Muawiyah, karena keberhasilannya dalam perang siffin dicapai melalui cara abitrase yang curang. Dia juga dituduh sebagai penghianat prinsip-prinsip demokrasi yang diajarkan Islam. Karena dialah yang mengubah model suksesi kepala negara dari proses demokrasi menuju sistem
B. Basis Pemerintahan Umayyah
Keberhasialan Muawiyah mendirikan Dinasti Umayyah bukan hanya akibat dari kemenangan diplomasi Siffin dan terbunuhnya Khalifah Ali, akan tetapi ia memiliki basis rasional yang solid bagi landasan pembangunan politiknya di masa depan. Adapun faktor keberhasilan tersebut adalah:
1. Dukungan yang kuat dari rakyat Syiria dan dari keluarga Bani Umayyah.
2. Sebagai administrator, Muawiyah mampu berbuat secara bijak dalam menempatkan para pembantunya pada jabatan-jabatan penting.
3. Muawiyah memiliki kemampuan yang lebih sebagai negarawan sejati, bahkan mencapai tingkat (hilm) sifat tertinggi yang dimiliki oleh para pembesar Mekkah zaman dahulu, yang mana seorang manusia hilm seperti Muawiyah dapat menguasai diri secara mutlak dan mengambil keputusan-keputusan yang menentukan, meskipun ada tekanan dan intimidasi.
C. Kedudukan Khalifah
Walaupun Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari musyawarah menjadi monarkhi, namun Dinasti ini tetap memakai gelar Khalifah. Namun ia memberikan interpretasi baru untuk mengagungkan jabatan tersebut. Dia menyebutnya ‘Khalifah Allah” dalam pengertian “penguasa” yang diangkat Allah dalam memimpin umat dengan mengaitkannya kepada al Qur’an (2:30). Atas dasar ini Dinasti menyatakan bahwa keputusan-keputusan Khalifah berdasarkan atas kehendak Allah, siapa yang menentangnya adalah kafir (Pulungan, 1997:167-168).
Dengan kata lain pemerintahan Dinasti Bani Umayyah bercorak teokratis, yaitu penguasa yang harus ditaati semata-mata karena iman. Seseorang selama menjadi mukmin tidak boleh melawan khalifahnya, sekalipun ia beranggapan bahwa Khalifah adalah seseorang yang memusuhi agama Allah dan tindakan-tindakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum-hukum syariat. Dengan demikian, meskipun pemimpin Dinasti ini menyatakan sebagai Khalifah akan tetapi dalam prakteknya memimpin ummat Islam sama sekali berbeda dengan Khalifah yang empat sebelumnya, setelah Rasulullah.
D. Sistem Pergantian Kepala Negara dan Upaya Penegakan Dinasti
Dengan meninggalnya Khalifah Ali, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhir, dan dilanjutkan dengan bentuk pemerintahan kerajaan (Dinasti), yakni kerajaan Bani Umayyah (Dinasti Umayyah). Daulah Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan. Muawiyah dapat menduduki kursi kekuasaan dengan berbagai cara, siasat, politik dan tipu muslihat yang licik, bukan atas pilihan kaum muslimin sebagaimana dilakukan oleh para Khalifah sebelumnya. Dengan demikian, berdirinya Daulah Bani Umayyah bukan berdasar pada musyawarah atau demokrasi. Jabatan raja menjadi turun-temurun, dan Daulah Islam berubah sifatnya menjadi Daulah yang bersifat kerajaan (monarkhi). Muawiyah tidak mentaati isi perjanjian yang telah dilakukannya dengan Hasan ibn Ali ketika ia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan pergantian pemimpin setelah Muawiyah akan diserahkan kepada pemilihan ummat Islam. Hal ini terjadi ketika Muawiyah mewajibkan seluruh rakyatnya untuk menyatakan setia terhadap anaknya, Yazid. Sejak saat itu suksesi kepemimpinan secara turun-temurun dimulai (al-Maududi, 1984:167).
Disamping usaha tersebut daulah Bani Umayyah memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga kehakiman. Lembaga kehakiman ini dikepalai oleh seorang ketua Hakim (Qathil Qudhah). Seorang hakim (Qadli) memutuskan perkara dengan ijtihadnya. Para hakim menggali hukum berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah Nabi.
Disamping itu kehakiman ini belum terpengaruh atau dipengaruhi politik, sehingga para hakim dengan kekuasaan penuh berhak memutuskan suatu perkara tanpa mendapat tekanan atau pengaruh suatu golongan politik tertentu.
Dalam sejarah dunia peradilan Islam terutama pada masa dinasti umayyah ada tiga kekusaan kehakiman yang dikenal, yaitu :
1. Pengadilan Al-Qadla
Kata Al-Qadla secara harfiah berarti “memutuskan atau menetapkan” sedangkan menurut istilah fikih Al-Qadla berarti menetapkan hukum syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk diselesaikan secara adil dan mengikat. Pengadilan ini mengadili perkara-perkara perdata (termasuk didalamnya hukum keluarga) dan pengadilan pidana (jinayat). Selain perkara perdata dan pidana pengadilan ini juga mendapat tambahan wewenang yang dalam pelaksanaannya tidak untuk menyelesaikan perkara. Misalnya menikahkan wanita yang tidak punya wali, pengawasan baital-mal dan lain-lain. Orang yang menyelesaikan perkara dalam pengadilan ini disebut qadli hakim. Misalnya Qadli Syureih yang pernah memangku jabatan ini dalam dua periode yaitu pada penghujung pemerintahan Khulafaurrasyidin dan awal pemerinthan Bani Umayyah.
2. Pengadilan Al-Hisbah
Lembaga pengadilan resmi Negara ini wewenang utamanya adalah menyelesaikan atau mengadili pelanggaran-pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak perlu proses peradilan dalam menyelesaikannya. Adapun perkara yang diselesaikan adalah masalah pengurangan takaran dan timbangan di pasar, menjual makanan kadaluwarsa dan memuat barang yang melebihi kapasitas kendaraan. Asal muassal lahirnya pengadilan ini barakar dari praktek Rasulullah SAW yang mana pada waktu itu beliau berjalan di pasar dan mendapatkan penjual bahan makanan yang mengandung cacat tersembunyi. Lalu beliau berkata : “Mangapa cacat ini disembunyikan sampai orang tidak mengetahuinya?”. Kemudian beliau melanjutkan dengan memberikan nasehat : “Hai orang-orang! Janganlah ada diantara kaum muslim yang berlaku curang. Barang siapa berlaku curang, maka ia bukanlah dari pihak kami” (alhadits)
Kesimpulannya dalam larangan ini Rasulullah SAW mencegah perbuatan yang tidak terpuji. Kekuasaan/pengadilan hisbah ini mulai melembaga pada masa pemerintahan Umar bin Khathab yang kemudian berkembang pada masa daulah Bani Umayyah.
3. Pengadilan Al-Madzalim
Kata al-madzalim adalah jama’ dari al-madzlamat yang menurut bahasa berarti nama bagi sesuatu yang di ambil oleh orang dzalim dari tangan seseorang. Jadi pengadilan ini di bentuk oleh pemerintah khusus membela orang-orang madzlum (teraniya) akibat sikap semena-mena dari pembesar/pejabat negara atau keluarganya, yang dalam penyelesaianya sulit untuk diselesaikan oleh pengadilan biasa (al-qadla), dan pengadilan (al-hisbah).
Pengadilan ini menyelesaikan perkara sogok-menyogok dan tindakan korupsi. Orang yang menangani/menyelesaikan perkara ini disebut dengan wali al-madzalim Adapun syarat mutlak untuk menjadi hakim di pengadilan tingkat ini adalah keberanian atau pemberani serta bersedia melakukan hal-hal yang tidak sanggup di lakukan oleh hakim biasa untuk mengadili pejabat yang terlibat dalam sengketa.
Dalam pelaksanaannya bentuk pengadilan seperti ini sudah di praktekkan oleh Rasulullah SAW di masa hidupnya. Namun, pembentukan lembaga secara khusus baru di didirikan pada masa pemerintahan Bani Umayah, terutama pada masa Abd. Malik bin Marwan. Menurut Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam al-Sulthaniyat wa al-walayat al-Diniyat, Abd. Malik bin Marwan adalah orang pertama yang menjalankan/mendirikan lembaga pengadilanal-madzalim dalam pemerintahannya.
Demikaian halnya pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Abd Aziz, yang pertama-tama yang ia lakukan adalah mengurus dan membela harta rakyat yang pernah dizhalimi oleh para pejabat/penguasa sebelumnya.


Refrensi :
1. Muhammad Salam Mazkur, Al-Qadla fi al-Islam, Dar al-Nahdlah, Kairo, 1964
2. Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Pustaka al Husna, Jakarta, 1990


Tidak ada komentar:

Posting Komentar