Jumat, 15 April 2011

FORMALISME KE ANTI FORMALISME

Mengamati sejarah panjang metode yang dipakai orang untuk mempelajari hukum sampai dengan abad dua puluh satu ini, kita dapat mengatakan beberapa hal. Pertama, bahwa metode dalam mempelajari hukum berkembang dari waktu kewaktu. Perkembangan yang dimaksud disini bukan meninggalkan yang lama dan memakai yang baru, melainkan bahwa metode tersebutdiperkaya dengan munculnya metode- metode lain. Perubahan tersebut ditentukan oleh berbagai factor, seperti tipe dan bentuk hokum sendiri dan munculnya berbagai disiplin ilmu baru.

Metode Transsedental
Studi hukum dimulai tidak sebagai disiplin yang otonom, melainkan sebgai bagian dari studi filsafat. Lebih dari dua puluh ribu tahun yang lalu orang sudah membicarakannya. Kehadiran yang amat dini tersebut disebabkan oleh eksistensi dan tatanan itu sendiri. Tatanan merupakan sisi lain dari kehidupan bersama manusia. Manusia adalah makhluk tatanan. Dilihat dari kaca mata sekarang, maka waktu itu yang dipelajari adalah suatu bentuk tatanan tertentu yang berbeda dari objek study hokum yang dikenal sekarang. Dilihat dari kaca mata sekarang, maka waktu itu yang dipelajari adalah suatu bentuk tatanan tertentu yang berbeda dari objek study hokum yang dikenal sekarang. Pada waktu itu, peradaban masih jauhdari pada munculnya hokum yang dibuat dengan sengaja oleh badan yang dibentuk khusus untuk itu. Oleh karena ketiadaan tatanan yang artikulasikan secara public dan positip, maka metode yang mempelajari hokum juga tidak memiliki yang psositif konkrit, melainkan tatanan yang tertulis dalam pikiran dan sanubari manusia. Maka metode yang dipakai juga dituntut untuk mengantarkan kita kepada wujufd hukumyang demikian itu, yaitu metode transenspekulatif.
Kendatipun demikian , hokum alam tidak sama sekali hilang sebagai tatanan tertentu, dalam suasana tatanan hokum perundang undangan, hokum alam menjalanan pungsi dan perannya sebagai otoritas ideal yang berpungsi mengoreksi kekurangan dan keterbatasan hokum perundang undanagan tersebut, yaitu sebagai ius countituendum. Keadaan yang demikian itu menyebabkan penyelenggaraan hokum perundang undangan penuh dengan ketegangan.

Metode Analitis-dogmatis
kita mencatat, bahwa dalam sejarahnya, hokum pernah mencapai puncak kemekaran pada abad ke- Sembilan belas. Pada waktu itu, sebagai akibat dari kemajuan-kemajuan dalam bidang industri, perdagangan, transfortasi, terjadilah kekosonagn besar dalam perdagangan. Berhadapan dengan kekosonagn tersebut hokum memberikan respon yang sangat massif dan melahirkan suatu orde baru tatanan hokum yang tidak ada tandingannya, bukan hanya sampai waktu itu, tetapi juga sampai sekarang. Lahirlah perundang undanagan yang baru, bidang hokum baru, system dan pengorganisasian baru yang berpuncak pada kodifikasi.
Perkembanagan lain yang mengikutri kelahiran suatu orde perundang undangan yangt massif tersebut adalah kemajuan yang terjadi dalam dunia profesi hokum, yaitu bagaimana kaum professional tesebut mampu menegaskan kedudukannya dalam praktik hokum, sehingga mampu memberi warna terhadap metode dalam mempelajari hokum.
Metode dogmatis pada hakikatnya merupakan konsekuensi belaka dari fenomena “the satatutoriness of law”. Metode tersebut muncul karena kebutuhan dari kehadiran hokum perundang undanagan tersebut. Sebagaimana dapat disimak dari sejarah hokum, maka pada suatu momentum dalam sejarah, hokum yang semula muncul dari hubungan antar manusia secara serta merta yang disebut juga hokum kebiasaan, berubah menjadi kaidah kaidah yang dirumuskan secara public dan positif. Sejak masa itu dibutuhkan pengamanan atau kebenaran bagi tipe tatanan yang baru tersebut. Maka berlangsung proses seleki dan hanya kaidah kaidah yang sudah dirumuskan secara positif itulah yang disebut dengan hokum. Metode dogmatis juga sering disebut: yuridis-dogmatis. Metode ini mempertahankan (peraturan) hokum yang berlaku dan mempelajarinya secara rasioanal. Yang dimaksud dengan mempertahankan hokum yang berlaku disini adalah, bahwa hokum diterima sebagai sesuatu yang ada dan berlaku serta wajib dipatuhi. Peraturan dan kepatuhan menjadi pradigma dalam metode ini.
Dalam penggunana metode normative maka hubungan antara orang yang melakukan pengkajian dan objek pengkajiannya adalah erat sekali atau hamper tidak ada jaraknya, hokum sudah melekat belaka dengan diri pengkajinya. Bagi pengkaji, tidak ada sikaf atau pilihan lain kecuali mematuhi hokum tersebut. Memang ia dapat melakukan kritik terhadap hokum yang berlaku dan menunjukkan kesalahan kesalalahan disitu, tetapi sikaf dasarnya adalah tetap menerima, menjalankan dan memihak kepada hokum tersebut, sebagaimana dilukiskan berikutini:
1. menerima hokum positif sebagai sesuatu yang harus dijalankannya.
2. hokum dipakai sebagai sarana penyelesaian persoalan (problem solving device)
3. berpartisipasi sebagai pihak sehingga mengambil sikaf memihak kepada hokum psitif.
4. bersikap menilai dan menghakimi yang menunjukkan kepada para anggota masyarakat, berdasarkan hokum positif.
Berdasarkan sikap dan penerimaan seperti itu pengkajian kemudian dipusatkan kepada susunan rasioanal dari sitem hokum. Ilmu hokum dan metode yang digunakannya mengemban tugas memahami seluk beluk system hokum sebagai bangunan rasioanal, melihat asas serta serta doktrin yang dipakai serta mempelajari susunan rasional dari sitem hokum . optic metode ini adalah persfektip, oleh karena segala sesuatunya diarahkan kepada kepatuhan terhadap hokum sehingga secara keseluruhan berisi keharusan keharusan.
Ilmu hokum yang memuat metode dogmatis pada gilirannya merupakan ilmu yang tidak lagi sepenuhnya bewrsifat objektif. Sifat yang demikian itu sangat mewngganggu penempatan ilmu hokum dalam jajaran ilmu ilmu dengan prosedur keilmuan yang hakiki, yaitu bekerja yang hakiki. Denagn demikian metrode sebagaimana diuraikan diatas, ilmu hokum normative itu sebetulnya sudah memihak, yaitu melalui pekerjaan “mempertahankan hokum yang berlaku” sebagaima disebutkan dimuka. Oleh donal black, ilmu hokum dan sekalian metodenya yang demikian itu dimasukkan kedalam kategori jurisprudential model.
Memasuki abad ke dua puluh kembali terjadi perubahan perubahan penting yang akan memberikan dampaknya terhadap cara cara orang mempelajari hokum. Tetapi berbeda dari perkembangan abad ke Sembilan belas yang banyak memekarkan subtansi hokum, maka abad ke dua puluh perubahan lebih banyak menyangkut metodenya. Perananan yang tidak kecil dating dari perkembangan dalam dunia ilmu sendiri yang menyaksikan kelahiran dari berbagai disiplin baru, seperti sosiologi, psikologi, managemen, informatika dan lain lain. Ilmu ilmu tersebut menguncang ketegangan tradisi normative-dogmatis yang mendominasi selama lebih dari satu abad.
Terdapat kesepakatan umum untuk mengatakan, bahwa perubahan perubahan social politik dan ekonomi abad ke dua puluh sangat mendorong munculnya studi social terhadap hokum. Perubahan perubahan tersebut meninggalkan banyak persoalan dan pertanyaan dalam hokum yang tidak mampu dijawab oleh suatu ilmu hokum yang hanya membatasi dirinya pada pengkajian perundang undangan. Intervensi Negara yang makin maju jauh dalam kehidupan pribadai dan masayarakat, kerusakan dan kemerosatan social yang disebabkan oleh indutrialisai dan sejumlah besar persoalan lain, tidak dapat ditepis hanya dengan alasan sebagai bukan masalah hokum. Tetapi apabila semua itu memang harus ditangani oleh ilmu hokum maka sulit untuk memaksanya masuk kedalam skema dan stereotip hokum yang ada. Dibutuhkan suatu metode dan pendekatan yang lain yang mampu memberikan pemahaman dan penjelasan. Untuk itu maka study hokum perlu menempatkan hokum kedalam konteks social yang lebih besar.
Dalam mebuat diskripsi atau menuliskan logika sosiologis tersebut orang tidak menilai atau menghakimi kenytaan, melainkan membiarkan kenyataan itu berbicara dengn sendirinya. Dengn demikian, logika yang dipakai adalah logika perjalanan kenyataan itu sendiri. Sewaktu melakukan pengamatan terhdap dunia pengadilan, Marc Galander mengtakan, bahwa perbedaan dengn cara tradional( maksudkan: ilmu hokum dogmatis), yangt diamti adalah proses serta aktivitas nyta yang terjadi dipengadilan. Denagn demikian, menurur galander proses peradialan tidak dilihat dari optic perundang undangan, melainkan “from the order and of the telescope).
Perkembanagan yang akhirnya melahirkan sosiologi hokum dapat juga diproyeksikan kepada latar belakang pemikiran anti formalisme dalam hokum. Dalam alur sejarah yangt semakin menolak cara cara pengajian positif—analistis tersebut, morton white (1945) bekerja mengenai the revolt agains formalisme” dalam ilmu ilmu social. Pernyataan tersebut didasarkan pada sejumlah pemikiran dalam dan dari berbagai bidang ilmu diamerika serikat yang umumnya menunjukkan “fenomena revolusi” tersebut.
Khusus dalam ilmu hokum disebutnya realisme hokum amerika yang dapat dilacak sampai ke oliver Wendell holmes jr yang menolak pendapat, bahwa hokum adalah sesuatu yang abstrak yang pre-existing dan tiunggal menunggu ditemukan oleh hakim. Menurut Holmes, hokum dibuat oleh para hakim(stone, 1978: 15). Anti formalisme yang demikian itu sangat bagus untuk juga diproyeksikan kepada kajian social terhadap hokum yang keluar dari tradisi legalistic normative tersebut diatas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar